BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis Paru (TBC Paru) adalah suatu penyakit infeksi kronik
yang mengenai jaringan paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis, dan penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan fisik dan sosial serta
dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi penderita. Angka kematian pada awal
abad ke-20 mulai berkurang sejak diterapkannya prinsip pengobatan disertai
dengan perbaikan gizi dan tata cara kehidupan penderita. Keadaan penderita
bertambah baik sejak ditemukannya obat streptomisin pada tahun 1944 dan
bermacam-macam obat tuberkulosis pada tahun-tahun berikutnya (Soeparman, 2006).
Dengan program yang dilaksanakan secara intensif kejadian penyakit tuberkulosis
di Indonesia sudah sangat menurun, tetapi beberapa tahun terakhir ini penyakit
TBC paru kembali meningkat secara cepat (re-emerging
disease) yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak.
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam
hal jumlah penderita tuberkulosis (TB). Baru pada tahun ini turun ke peringkat
ke-4 dan masuk dalam milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun Kementerian
Kesehatan. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007
menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau
berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina.
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia ( WHO Global Tuberculosis Control 2010).
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia ( WHO Global Tuberculosis Control 2010).
Dalam laporan berjudul Global Tuberculosis Control Report 2011, WHO
menyampaikan bahwa jumlah kasus baru TBC di dunia pada 2010 tercatat 8,8 juta
dan jumlah korban meninggal 1,4 juta
jiwa. Angka ini turun dibanding tahun-tahun sebelumnya, misalnya 9,4 juta kasus
baru pada 2009 (Uyung Pramudiarja,2011)
Propinsi Jawa Barat prevalensi penderita TBC paru dengan basil tahan asam
(BTA) positif di Jabar adalah 107 penderita di setiap 100 ribu orang, atau
sekira 44 ribu orang. Sedangkan suspek pengidap virus TBC paru diperkirakan
sepuluh kali lipat dari jumlah itu, atau sekira 440 ribu orang. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Jabar, pada 2010 terdapat 30.067 penderita TBC paru. Cakupan
penanganannya sebanyak 68,7 persen, dengan tingkat kesembuhan 28,24 persen.
Dari jumlah penderita itu, sebanyak 7,6 persen tercatat mangkir dari
pemeriksaan dahak. Dan dari angka yang mendapat penanganan, sebanyak 3,9 persen
terputus proses pengobatannya. Pada tahun 2010 juga tercatat sebanyak 360
penderita TBC paru meninggal dunia (Resmiyati, 2011).
Pengobatan TBC paru dapat dilaksanakan secara tuntas diperlukan kerjasama
yang baik antara penderita TBC paru dan tenaga kesehatan, sehingga tidak akan
terjadi resistensi obat. Masalah ini menjadi perhatian utama WHO karena
mengancam tidak hanya penderita TBC paru di negara berkembang tetapi juga para
penderita TBC paru di negara maju.Data objektif dari pengobatan TBC paru dapat
merupakan salah satu penyebab terjadinya resistensi obat (Aditama, 2006).
Penanganan TBC paru setiap lembaga kesehatan harus melakukan metode DOTS (Direct Observe Treatment Shortcourse)
atau observasi langsung untuk penanganan jangka pendek. DOTS terdiri dari lima
hal, yaitu komitmen politik, pemeriksaan dahak di laboratorium, pengobatan
berkesinambungan yang harus disediakan oleh negara, pengawasan minum obat, dan
pencatatan laporan (Resmiyati, 2011).
Kegagalan pengobatan menurut Soeparman (2006) terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkannya, yaitu (a) Obat : panduan obat tidak adekuat, dosis obat
tidak cukup, minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang
diberikan, jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya, terjadinya
resistensi obat; (b) Drop-out : kekurangan biaya pengobatan, merasa sudah
sembuh, malas berobat/kurang motivasi; (c) Penyakit : lesi paru yang sakit
terlalu luas/sakit berat, penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti
diabetes melitus, alkoholisme dan penyakit lain serta adanya gangguan
imunologis.
Kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya
pengobatan atau merasa sudah sembuh / kurang motivasi. Kegagalan pengobatan ini
dapat mencapai 50% pada terapi jangka panjang, karena sebagian besar penderita
TBC paru adalah golongan kurang mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis
memerlukan waktu lama dan biaya yang banyak (Soeparman, 2006).
Kasus
drop out menjadi salah satu kendala keberhasilan program pemberantasan Tuberculosis Paru. Kurangnya
tingkat pengetahuan penderita tentang penyakit Tuberculosis paru masih kurang
karena kebanyakan sebagian besar yang putus berobat hanya tamatan SD ke bawah
(Heryanto, 2002). Serta jarak yang jauh antara rumah dengan pelayanan kesehatan
yang membutuhkan waktu lama, transportasinya juga sulit dan mahal (Felly Philipus,
2002).
Pencegahan kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari dokter
dan tim kesehatan lain serta motivasi pengobatan TBC paru tersebut terhadap
penderita. Hal ini telah ditindak lanjuti dengan adanya Gerakan Terpadu
Nasional (Gerdunas) TBC Paru yang didengungkan di seluruh kabupaten/kota.Upaya
untuk menemukan penderita pada tahap dini dan pengobatan yang tuntas diharapkan
dapat meningkatkan angka kesembuhan dan mengurangi kematian penderita (Depkes
RI, 2005).
Selain dari faktor tim kesehatan, ada satu faktor yang juga sangat
berpengaruh terhadap kesembuhan penderita, yaitu dukungan keluarga. Karena
keluarga merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan serta
pemberi motivasi yang baik selain dari dalam diri penderita sendiri.
Menurut Freedman (1998), keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan dukungan agar penderita rutin dalam
pengobatannya. Adanya perhatian dan dukungan keluarga dalam mengawasi dan
mengingatkan penderita untuk minum obat dapat meningkatkan derajat kesehatan
penderita.
Hasil
penelitian yang dilakukan Dyah M (2007) menunjukkan bahwa menunjukkan ada
hubungan yaitu tingkat pengetahuan, dukungan keluarga, jarak rumah dan
transportasi. Menurut Gendish I (2011) ada hubungan yang bermakna antara
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat. Menurut Santi F (2006) ada
hubungan antara pendapatan kelurga dengan kegagalan Pengobatan,tingkat
pengetahuan responden dengan kegagalan pengobatan Tuberculosis Paru dan ada
hubugan antara efek samping obat dengan kegagalan pengobatan.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang,
penyakit TBC merupakan salah satu kasus penyakit yang menonjol. Pada tahun 2010
jumlah kasus TBC di daerah ini sejak Januari hingga Desember 2010 cukup tinggi,
mencapai 2.302 kasus (Nounkinan, 2011)
Kecamatan
Rawamerta dengan jumlah penduduk 32.913 jiwa, pada tahun 2012 periode bulan
Januari sampai dengan Desember terdapat
suspec penderita TB sebanyak 303 penderita, sedangkan penderita dengan
BTA (+) terdapat 54 pendertia. Penyakit ini menduduki urutan ke 2 setelah ISPA sebagai penyakit
infeksi menular (Puskesmas
Rawamerta,2012).
Tabel 1.1
Jumlah Pasien TBC Paru PerWilayah Puskesmas Rawamerta
Periode bulan Januari s/d Desember 2012
No
|
Nama Desa
|
Jumlah Penduduk
|
Jumlah Penderita
|
1
|
Sukamerta
|
6.407
|
7
|
2
|
Kutawargi
|
3.356
|
3
|
3
|
Pasirkaliki
|
5.334
|
12
|
4
|
Sukaraja
|
2.279
|
5
|
5
|
Panyingkiran
|
6.147
|
2
|
6
|
Cibadak
|
3.655
|
7
|
7
|
Sukapura
|
4.316
|
9
|
8
|
Gomobong sari
|
2.757
|
3
|
9
|
Luar daerah
|
|
4
|
|
Jumlah
|
32.913
|
54
|
Sumber : Puskesmas
Rawamerta 2013
Data di atas
terlihat bahwa penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Rawamerta masih cukup tinggi terlihat dari
jumlah penduduk 32.913 jiwaa tercatat
sebanyak 54 orang penderita TBC paru.
Tabel 1.2 Jumlah Penderita Tb Paru
Yang Berobat Setiap Bulan Ke Puskesmas Rawamerta
No
|
Bulan
|
Jumlah
Suspect TB
|
BTA (+)
|
1
|
Januari
|
29
|
4
|
2
|
Februari
|
32
|
2
|
3
|
Maret
|
23
|
1
|
4
|
April
|
24
|
3
|
5
|
Mei
|
39
|
2
|
6
|
Juni
|
17
|
2
|
7
|
Juli
|
46
|
3
|
8
|
Agustus
|
12
|
0
|
9
|
September
|
25
|
8
|
10
|
Oktober
|
25
|
3
|
11
|
November
|
23
|
4
|
12
|
Desember
|
8
|
1
|
|
Jumlah
|
303
|
33
|
Sumber :
Puskesmas Rawamerta 2012
Tercacat dari
303 suspect TB dan 54 penderita dengan BTA(+), akan tetapi yang aktif berobat
hanya 33 penderita. Berdasarkan kebijakan UPTD Puskesmas Rawamerta Drop Out
(DO) ≤ 4 penderita sedangkan dari data yang tercatat ≥ 4 yang Drop Out atau
sekitar 21 penderita.
Melihat permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang dituangkan dalam bentuk karya
tulis ilmiah dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan
Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Penderita TBC Paru Untuk Berobat Ulang ke Puskesmas Rawamerta Tahun 2013”
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada tabel 1.2 jumlah penderita TB yang berobat peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut, Adakah Hubungan Pengetahuan dan Dukungan keluarga
terhadap Motivasi Penderita TB Paru untuk berobat ulang ke Puskesmas Rawamerta
tahun 2013.
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Motivasi Penderita TB untuk Berobat ulang ke Puskesmas
Rawemerta tahun 2013
2.
Tujuan Khusus
a.
Mengetahui hubungan pengetahuan
dengan motivasi penderita TBC untuk berobat ulang ke Puskesmas Rawamerta tahun 2013
b.
Mengetahui hubungan
dukungan keluarga dengan motivasi penderita TBC untuk berobat ulang ke Puskesmas Rawamerta tahun 2013
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
a.
Manfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
wawasan baru bagi perawat profesional masa depan mengenai ilmu dan teori yang
menjelaskan tentang metode alternatif yang dapat digunakan dalam program
pemberantasan penyakit TBC Paru. Disamping itu sebagai landasan ilmiah
pengembangan metode program TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas Rawamerta khususnya dan Kabupaten Karawang
pada umumnya.
b.
Manfaat bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
literatur untuk penelitian bagi calon peneliti selanjutnya mengenai masalah
yang berkaitan dengan program pemberantasan penyakit TBC Paru khususnya di
wilayah kerja Puskesmas Rawamerta umumnya di Kabupaten Karawang.
2.
Manfaat
Praktis
a.
Manfaat bagi praktisi keperawatan
Mendapat informasi mengenai keberhasilan program
pengobatan penderita TBC Paru khususnya di wilayah kerja Puskesmas Rawamerta Kabupaten Karawang.
b.
Manfaat bagi Puskesmas Rawamerta
1)
Memberikan masukan bagi Puskesmas sehingga dapat
dijadikan acuan dalam program pemberantasan penyakit TBC Paru di wilayah
kerjanya.
2)
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan masukan bagi Puskesmas Rawamerta
khususnya dalam membuat kebijakan mengenai upaya penanganan dan
pemberantasan penyakit TBC Paru.
No comments:
Post a Comment